|
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
penyusunan makalah yang berjudul “Upacara Bhuta Yadnya ” dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak akan
membuahkan hasil yang baik, tanpa bantuan yang sangat berharga dari berbagai
pihak, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu dosen
pengampu mata kuliah Weda yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta
rekan-rekan Mahasiswa yang telah banyak memberikan dorongan semangat kepada
penulis. Dalam penyusunan ini penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan pada kesmpatan ini penulis berharap kritik dan saran
yang bersifat membangun guna penyempurnaan penulisan pada masa-masa mendatang.
Om Santi, Santi, Santi Om
DAFTAR ISI
|
HALAMAN JUDUL
KATA
PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1PengertianYadnya...........................................................................................2
2.2
Pengertian Bhuta Kala Dan Makna Bhuta Yadnya.........................................3
2.3
Tingkatan Upacara Bhuta Yadnya..................................................................5
2.4 Makna
Segehan, Caru, Tawur......................................................................28
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan...................................................................................................31
3.2
Saran.............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Yadnya menurut ajaran agama
Hindu, merupakan satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat manusia
di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan menciptakan manusia beserta
makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka hendaklah manusia
memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya sebagai jalan
untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi
(Tuhan Yang Maha Esa). Seperti dalam sloka dikatakan:
Sahayajnah prajah
strishtva
puro vácha prajapatih
anena prasavishya
dhvam
esha va stv ishta
kamadhuk (Bh. G. III.10)
Dahulu kala Hyang Widhi (Prajapati), menciptakan manusia
dengan jalan yadnya, dan bersabda: "dengan ini (yadnya) engkau akan
berkembang dan mendapatkan kebahagiaan (kamadhuk) sesuai dengan
keinginanmu".
Sloka tersebut diatas mengisyaratkan kepada kita bahwa
Tuhanpun selalu melakukan yadnya di dalam menciptakan alam semesta, sebab bila
Beliau berhenti beryadnya maka duniapun akan hancur atau Pralaya. Sehingga
sudah seharusnyalah kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan, patut bersyukur atas
hal tersebut dengan jalan melaksanakan Yandya.
1.2 Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang akan diungkapkan sesuai dengan judul
makalah ini antara lain :
1. Apa pengertian dari yadnya ?
2. Apa pengertian bhuta kala dan
maksud dari bhuta yadnya ?
3. Apa saja
tingkatan upakara bhuta yadnya ?
4. Apakah makna segehan, caru,
tawur ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN YADNYA
Kata Yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari akar kata
“yaj”yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban. Kemudian penulisandi indonesiakan
dari Yajna menjadi Yadnya. Dalam kitab Bhagawadgita dijelaskan Yadnya artinya
suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan kesadaran untuk
melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti upacara persembahan
korban suci. Pemujaan yang dilakukan dengan mempergunakan korban suci sudah barang
tentu memerlukan dukungan sikap dan mental yang suci juga.
TUJUAN YADNYA
Bila direnungkan tujuan diadakannya
sebuah Yadnya yaitu untuk membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang
Hyang Widhi ketika menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal tersebut dapat
kita lihat dari sloka dibawah ini: “sahayajnah prajah srishtva, paro vacha
pajapatih, Anema prasavish dhvam, esha yostvisha kamaduk” Artinya: Pada zaman
dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia dengan Yadnya dan
bersabda. Dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamanduk (memenuhi)
dari keinginanmu. Dari sloka di atas dapat kita lihat secara jelas, bahwa kita
melaksanakan Yadnya atas dasar Tuhan mengawali menciptakan dunia besrta isinya berdasarkan
Yadnuhan itu diteruskan agar kehidupan di dunia ini berlanjut terus dengan
saling beryadnya. Bukankah akibat dari Tuhan berbuat Yadnya itu menimbulkan
Rnam (hutang). Kemudian agar tercipta hokum keseimbangan, maka rnam itu harus
dibayar dengan Yadnya (Tri Rna). Tri Rna ini dalam kehidupan sehari-hari dapat
dibayar dengan pelaksanakan Panca Yadnya. Dimana Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya
dan dibayar dengan Bhuta Yadnya, kemudian Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya,
dan yang terakhir yaitu Pitra Rna dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa
Yadnya. Memang konsep Agama Hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Dengan terwujudnya
keseimbangan berarti terwujud pula
keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang didunia ini. Untuk
terwujudnya keseimbangan tersebut dalam Umat Hindu diajarkan Tri Hita Karana
yaitu tiga factor yang menyebabkan terwujudnya suatu kebahagiaan. Berkaitan
dengan itu, dalam Bhagawadgita III.2 menyebutkan: “ishtan bhogan hivodeva,
donsyante yajna bhavitah, tair dattan apradayabho, yobhunkte stena eca sah” Artinya:
Dipelihara oleh Yadnya Para Dewa, akan memberikan kamu kesenangan yang kamu inginkan.
Ia yang menikmati pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadanya adalah
pencuri. Selanjutnya seloka Bhagawadgita III.13 menyebutkan:
“yajna sisyah sinah santo, nucyanta sarwa kilbisaih, bhujate
tuagham papa, ye pacauty atmakatanat”
Artinya: Orang yang baik, maka apa yang tersisa dari Yadnya,
mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang
menyediakan makanan kepentingan sendiri, mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
Jadi dengan petikan sloka di atas dapat ditegaskan bahwa Yadnya itu bertujuan
untuk melangsungkan kehidupan yang berkesinambungan yaitu dengan cara: ·
Membayar Rna (hutang) untuk mencapai kesempurnaan hidup. Melebur dosa untuk
mencapai kebebasan yang sempurna.
FUNGSI DAN MAKNA
YADNYA
Jika kita lihat dari tujuan
pelaksanaan Yadnya yang dijelaskan diatas maka secara umum fungsi daripada
Yadnya adalah sebagai sarana untuk mengembangkan serta memelihara kehidupan
agar terwujud kehidupan yang sejahtra dan bahagia atau kelepasan yakni menyatu
dengan Sang Pencipta. Berdasarkan uraian diatas dapat dijabarkan fungsi dari
pelaksanaan Yadnya, yaitu sebagai berikut:
1. Sarana untuk
mengamalkan Weda
Yadnya adalah sarana untuk mengamalkan
Weda yang dilukiskan dalam bentuk symbol-simbol atau niyasa. Yang kemudian
symbol tersebut menjadi realisasi dari ajaran Agama Hindu.
2. Sarana untuk
meningkatkan kualitas diri
Setiap kelahiran manusia selalu disertai
oleh karma wasana. Demikian pula setiap kelahiran bertujuan untuk meningkatkan kualitas
jiwatman sehingga tujuan tertinggi yaitu bersatunya atman dengan brahman (
brahman atman aikyam ) dapat tercapai. Dalam upaya meningkatkan kualitas diri,
umat Hindu selalu diajarkan untuk buatan baik. Perbuatan baik yang paling utama
adalah melalui Yadnya. Dengan demikian setiap yadnya yang kita lakukan hasilnya
adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwatman.
3. Sebagai sarana
penyucian
Dengan sebuah Yadnya sesuatu hal
bisa disucikan seperti diadakannya Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra
Yadnya dan Manusa Yadnya yaitu pada bagian-bagian tertentu mengandung makna dan
tujuan untuk penyucian atau pembersihan.
4. Sarana untuk
terhubung Kepada Ida Sang Hyang Widhi Yadnya merupakan sarana yang dapat
digunakan untuk mengadakan
hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, seperti yang
sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
5. Sarana untuk mengungkapkan
rasa terima kasih
Dengan sebuah yadnya seseorang
mampu mengungkapkan rasa syukur dan ucapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, sesame manusia, maupun kepada alam, seperti yang sudah biasa dilakukan dalam penerapan Panca Yadnya.
2.2 PENGERTIAN BHUTA
KALA DAN MAKNA BHUTA YADNYA
Selama ini persepsi yang mungkin berkembang
dimasyarakat mengenai Bhuta kala adalah sesosok mahluk yang mempunyai wajah
yang menyeramkan dengan perilaku layaknya raksasa. Selain itu ada anggapan
bahwa yadnya yang dibuat adalah sebagai suguhan kepada Bhuta kala untuk disantapnya.
Gambaran masyarakat terhadap Bhuta Kala tidaklah berlebihan tetapi pandangan tersebut
masih keliru. Dengan adanya kekeliruan persepsi masyarakat terhadap pengertian Bhuta
Kala, maka disini kami akan mencoba untuk menguraikan Pengertian Bhuta Kala dan
Makna Bhuta Yadnya. Karena sebagai umat yang memiliki pola pikir yang modern,
tentunya kita tidak boleh begitu saja menerima mitos yang ada.
A) PENGERTIAN BHUTA
KALA
Kata Bhuta berasal dari suku
“BHU” yang berarti menjadi, ada, gelap, berbentuk, mahluk. Kemudian kata BHU” berkembang
menjadi “BHUTA” yang artinya adalah telah dijadikan ataupun diwujudkan.
Sedangkan untuk kata “KALA”, berarti energi, waktu. Sehingga kata BHUTA KALA artinya
adalah energy yang timbul dan mengakibatkan kegelapan. Selanjutnya pengertian
menurut filsafat agama bahwasanya Bhuta Kala merupakan suatu kekuatan yang timbul sebagai akibat
terjadinya suatu kekuatan di alam semesta beserta dengan isinya sehingga
menimbulkan ethos kerja. Kekuatan yang dimaksud dapat mengakibatkan terjadinya keharmonisan
antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit dan juga sebaliknya dapat mengakibatkan terjadinya
ketidak harmonisan antara bhuana agung dengan bhuana alit. Lebih lanjut
mengenai Bhuta dijelaskan dalam “Tutur Andhabhuwana” yang mengungkapkan bahwa
Panca Maha Bhuta telah bersemayam (Nirwikara) kesetiap mahluk terutamanya pada
manusia, sehingga isi alam dengan alamnya selalu berhubungan, saling ketergantungan
dan merupakan satu ekosistem sesuai dengan ajaran “Tri Hita Karana”. Sementara itu di dalam lontar “Tutur
Kandapat” yang telah dikenal oleh masyarakat bali pada khususnya, isinya sangat
sesuai dengan Lontar Tutur Andhabhuwana. Dimana dalam lontar “Tutur Kandapat” menjelaskan tentang hubungan Panca
maha Bhuta di alam semesta (Bhuana Agung) dengan Panca Maha bhuta yang bersemayam di dalam badan manusia
(Bhuana alit). Adanya hubungan yang erat antara kedua alam ini perlu dijaga keharmonisannya.
Berikut ini petikan terjemahan isi dari Tutur Kandapat:
“ini tutur kanda empat namanya, berinfiltrasinya Panca maha
bhuta kea lam semesta dan berada pada kelima
belahan bumi, pada belahan timur berada dalam kekuatan akasa yang disebut bhuta
putih. Berinfiltrasinya Panca maha bhuta ke dalam tubuh manusia terjadi pada
saat si Ibu sedang ngidam pada saat itu kekuatan Panca mahabhuta masuk ke dalam
kandungan. Kekuatan akasa pada manusia membentuk semua macam urat urat dan
bersemayam ke dalam jantung bernama sang bhuta anggapati. Unsure tejanya dialam
semesta, berada pada belahan selatan dari bumi letak titik hypocentrumnya yang
disebut Bhuta Abang, kalau didalam diri manusia membentuk otot (daging) dan
bersemayam didalam hati, bernama sang bhuta merajapati. Unsure apahnya di alam semesta,
berada pada belahan Barat dari bumi letak titik hypocentrumnya yang disebut Bhuta
kuning, kalau didalam diri manusia membentuk sumsum dan bersemayam ke dalam
ginjal, bernama sang Bhuta banaspati. Unsure bayunya dialam semesta, berada
pada belahan utara dari bumi letak titik hypocentrumnya yang disebut Bhuta
Ireng, kalau didalam diri manusia membentuk tulang belulang dan bersemayam kedalam
empedu (nyali) bernama sang bhuta Banaspati raja. Kemudian unsure pertiwinya
dialam semesta, berada pada titik hypocentrumnya bumi (di tengah- tengah)
disebut Bhuta Brumbun, kalau didalam diri manusia membentuk semua kulit dan bersemayam
didalam pangkal ati bernama sang bhuta anggasakti. Itulah yang harus diketahui,
karena alam semesta dengan manusia adalah dalam pengerian tunggal, hanya nama
dan penyebutannya saja berbeda. Lakukanlah yadnya, karena kekuatan itu bisa
menggoda dan menolong kehidupan manusia, sehingga bisa mengakibatkan kesedihan dan
kebahagiaan” (kutipan terjemahan kandapat dalam Makna Upacara Bhuta
Yadnya,2001:25-26) Melihat dari petikan terjemahan isi Tutur Kandapat diatas,
dapat disimpulkan bahwa setiap pelaksanaan yadnya memiliki fungsi Rwa bhineda
yaitu memiliki sasaran terhadap Bhuana agung dan Bhuana alit, sehingga
diharapkan akan tercipta suatu kondisi yang harmonis antara bhuana agung dan bhuana
alit dan dapat tercapainya Moksrtham jagadhita ya ca iti darmah.
B) MAKNA UPACARA
BHUTA YADNYA
Kalau ditinjau dari fungsinya, Fungsi
upacara Bhuta Yadnya adalah sebagai sarana untuk menetralisir (nyomya) semua kekuatan-kekuatan yang bersifat
Asuri Sampad (sifat keburukan) yang telah bersemayam ke dalam bhuwana agung
(makrokosmos) dan Bhuwana alit (mikrokosmos), sehingga dapat mencapai bhuta hita agar keseimbangan, keselarasan dan
keserasian antara bhuwana agung dan bhuwana alit dapat dipertahankan secara berkesinambungan.
Kalau dilihat dari segi makna pelaksanaan
upacara Bhuta yadnya,
maka Makna Upacara Bhuta Yadnya adalah sebagai berikut:
1. Bermakna
sebagai pengeruat (penyupatan)
2. Bemakna
sebagai kesejahteraan
3. Bermakna
sebagai peleburan dosa
4. Bermakna
sebagai korban suci (yadnya)
2.3 Tingkatan Upakara
Bhuta Yadnya
Dalam ajaran Agama Hindu dikenal
dengan adanya 5 (lima) jenis Upacara keagamaan yakni: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya dan
Bhuta Yadnya. pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai upakara Bhuta
Yadnya. Upacara Bhuta Yadnya adalah salah satu korban suci yang tulus ikhlas
yang ditujukan kepada Bhuta Kala atau makhluk bawahan yang berpengaruh buruk
dan dapat menimbulkan bencana. Pelaksanaan Yadnya tersebut bertujuan untuk
mengharmoniskan semua kekuatan alam baik dalam bhuwana agung maupun bhuwana
alit. Melalui upacara Bhuta Yadnya untuk memohon kehadapan Ida Sanghyang Widhi
atau Tuhan Yang Maha Esa agar dapat menyelaraskan dan menyucikan kekuatan alam
untuk tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. adapun pelaksanaannya
disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing mulai dari tingkat kecil,
menengah sampai yang paling besar yaitu:
1. Tingkatan Upakara
Bhuta Yadnya yang paling kecil (kanista) adalah Segehan
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan
“Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa
Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh
nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada
berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal),
tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan
berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang
sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya.
Dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan
menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai
beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem. Jenis-jenis segehan ini
bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun
jenis- jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar
Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita. Segehan ini adalah persembahan
sehari- hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya
tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan
/ Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan
Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar
dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para
bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari). Segehan yang besar berbentuk caru. Warna
segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan di dikpala dari para dewa
(Istadewata) yang dihaturi segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan
segehan cacahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat
tumpeng) kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di
tempat masak (api), di atas tempat air (apah), di tempat beras (pertiwi), di
natah/halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu halaman rumah (akasa). Dalam
hal ini bahan yang dimasak (nasi, sayur, daging, dan lauk-pauk lainnya) itu
diyakini terdiri atas bahan panca mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai
tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta (panca maha
bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat
hidup sehat, segar dan sejahtera. Ada pula segehan yang dihaturkan di
perempatan jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu
disebut segehan manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca warna ini di
timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah
(Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi
berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna manca warna
atau campuran keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata
yang berkedudukan di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-
tengah.
Bagian - bagian Segehan :
a)
Segehan Kepel
Alasnya dipakai sebuah taledan (
tangkih ) dari daun pisang, diatasnya diisi dua kepel nasi puith, ikannya awang jae dan garam. Diatasnya ditaruh atau
dilengkapi dengan canang genten ( canang biasa ). Jumlah nasi disesuaikan dngan
keinginan begitu pula warnanya disesuaikan dngan maksud dan tujuan yang disuguhkan, Bisa warna putih
kuning atau menjadi empat warna seperti
hitam , merah, putih dan kuning.
b)
Segehan Cacahan
Alasnya dipakai taledan ( daun
pisang ) , diatasnya diisi 6-7 tangkih, lima buah diisi nasi putih , satu diisi
ijaratus ( lima jenis biji-bijian :
jagung, jagung nasi, jawa, godem dan jali ), dan satu tangkih diisi beras
sedikit, base tampel benang putih, dan uang kepeng. Sebagai lauk pauknya adalah
bawang, jae dan garam. Kemudian dilengkapi dengan sebuah canang genten. Nasi
dari segehan ini dapat pula diwarnai sesuai keperluan.
c)
Segehan Agung
Sebagai alasnya dipakai sebuah
tempeh yang cukup besar, diatasnya diisi 11 atau 33 tangkih, masing asing diisi dengan nasi putih serta lauknya
bawang , jae dan garam. Kemudian
dilengkapi dengan sebuah daksina atau alat perlengkapan daksina itu ditaruh
begitu saja ditempat tersebut tidak dialasi dengan bakul dan kelapanya tidak dikupas sampai bersih. Segehan
ini dilengkapi dengan sebuah canang payasan dan 11 atau 33 canang genten/biasa ditambah
dengan jinah sandangan. Untuk menghaturkan banten ini disertai engan
penyambleh ayam kecil/ itik/ babi
yangbelum dikebiri ( kucit butuan ) yang masih hidup. Waktu menghaturkan segala
perlengkapan yang ada pada daksina itu dikeluarkan sedangkan telur dan
kelapanya dipecahkan diikuti dengan pemotongan / penyambleh dan akhirnya
tetabuhan. Segehan Agung dipergunakan
untuk upacara yang agak besar atau kadang dipergunakan untuk upacara mendak Ida
Bhatara, upacara pengukuran tempat bangunan atau palinggih, ataupun peletakan batu
pertama pada saat membuat bangunan suci.
2. Tingkatan Upakara
Bhuta Yadnya Menengah (Madya) adalah caru
Upacara Bhuta Yadnya dalam
tingkatan madya ini di sebut dengan “Caru“. Pada tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan,
maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan
tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. menurut “lontar Carcaning
Caru” jenis- jenis caru adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ),
Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan
arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan
lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan
kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana. Baten caru berfungsi
sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru
ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada
tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat
upacara. Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan
dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali
stabil.
Jenis - jenis Caru :
I. CARU EKA SATA
Jenis-jenis caru eka sata :
a Caru ayam
brumbun/Pengruwak (berwarna putih-merah-kuning- hitam)
b. Caru Dengen (
menggunakan ayam putih nulus )
c Caru Preta (
menggunakan ayam biying atau bulunya merah )
d Caru Ananta Kusuma ( menggunakan ayam putih
siyungan atau bulunya putih namun paruh
dan kakinya
kekuning-kuningan
e. Caru Bicaruka ( menggunakan ayam ireng mulus )
Penggunaannya :
1. Menyertai
Piodalan
2. Perombakan
suatu tempat/hutan
3. Pembongkaran
atau peletakan batu pertama untuk suatu bangunan suci
4. Permulaan
menggunakan suatu bangunan seperti rumah, bale, banjar, pura dll
Tetandingannya ;
Tahap 1. Mempersiapkan Olahan ayam
a.
Sebelum menyembelih binatang korban untuk
caru/tawur, didahului dengan mantra :
b.
“ Om pasu pasa ya wihmane sira ceda ya dimahi,
tanne jiwah pracodaya”
c.
Artinya, Om Hyang Widhi Wasa, hamba menyembelih
hewan ini, semoga rohnya menjadi suci.
d.
Hewan tersebut dikuliti (dalam keadaan
kering/jangan diseduh dg air panas) sehingga kepala. Sayap, kaki dan ekornya
masih melekat dan berhubungan antara satu dengan yang lainnya ( dibuat blulang ayam/walung
malayang-layang)
e.
Dagingnya diolah menjadi :
a.
Urab-uraban antara lain :
f.
urab barak, urab putih, gegecok
a.
Berbagai jenis sate,
g.
antaralain : lembat, asem, dan calon Ketiga
jenis sate dan urab- uraban disebut Trinayaka yaitu symbol jasmani binatang tersebut
yang aksaranya Ang, Ung, Mang
h.
Dari hasil urab-uraban dan sate tersebut diatur
menjadi beberapa tetandingan, yaitu ;
a. Karangan
Alasnya :
sebuah
taledan
Isinya : urab barak,
urab putih, sate lembat 2 bh, sate asem 2 bh, sate calon 2 bh,
lalu dilengkapi dengan nasi sokan, berisi lekesan.
Sampyan nagasari
b. Kawisan
Alasnya : sebuah taledan
Isinya : urab barak,
urab putih, sate lembat 2 bh, sate asem 2 bh, sate calon 2 bh,
lalu dilengkapi dengan nasi pangkonan (setengah
bundar dg dialasi daun ),
berisi
lekesan Sampyan :
canang genten
c. Bayuhan
Alasnya :
sebuah taledan
Isinya :
urab- uraban, sate tiap jenis 1 bh, dibuat tetandingannya sejumlah urip
pangideran, Nasinya menggunakan tumpeng danan 2 bh dengan warna dan jumlah set tumpeng danannya sesuai urip pengideran , dilengkapi garam dan sambal
serta raka-raka. sampyan metangga/peras
d. Ketengan
Alas :
taledan kecil berisi tangkih sejumlah urip pengiderannya
Isinya : nasi sasah sesuai dengan warna pengidernya dilengkapi
dengan urab-
uraban dan sate tiap jenis 1 bh.
Sampyan : canang genten
Tahap 2. Tetandingan
banten tambahan :
a. Segehan
cacahan
Sejumlah urip dan warna pengideran,
dengan menggunakan alas taledan, dilengkapi ulam bawang jahe dan
garam serta adeng, diatasnya dilengkapi
canang genten
b. Cau danan
Bentuk jejahitannya seperti kapu-kapu,
dibuat bergandengan sejumlah urip pengiderannya, masing-masing berisi nasi
sesuai warna arah, dilengkapi dengan kacang-saur dengan sebuah sampyan plaus
c. Tulung
sangkur
Alasnya ceper berisi tulung sangkur sejumlah urip pengiderannya,
berisi nasi warna sesuai arah,
dilengkapi dengan kacang-sauh, dilengkapi sampyan plaus
d. Takep-takepan
Takep-takepan berisi tatukon (base
tampelan,beras,benang,uang kepeng) sejumlah urip pengiderannya
e. Kalakat
Anyaman
bamboo berbentuk bujursangkar sebagi alas laying- layang hewan korban
f. Daun talujungan
Ujung daun pisang yang digunakan
pada sanggah cucuk, dan sebuah lagi diatas kelakat sebagai alas layang-layang
g. Sebuah kwangen
Yang berisi uang kepeng sesuai dengan
jumlah urip pengiderannya h. Sanggah
pesaksi Sanggah Surya) Dihias dengan tikar, candiga, gantung-gantungan serta
diisi beberapa banten
i. Sanggah cucuk
Dihias dengan janur pada pinggirnya
secara berkeliling, lalu lamak, daun talunjungan, gantung-gantungan
j. Sengkwi
Dianyam sejumlah urip pengiderannya,
dipakai sebagai alas caru
k. Kain berwarna
Warnanya sesui dengan pengiderannya,
diletakkan diatas sanggah cucuk
l. Tetimpug
Terdiri atas 3 ruas bambu utuh lalu
diikat menjadi satu, yang diletakkan nantinya diatas dapur darurat (3 bh bata
tersusun) lalu dibakar agar mengeluarkan suara letusan 3 kali Sebagai alat
pembersih
n. Tulud
Sebagai alat untuk mendorong- dorong
sisa sampah Tahap 3. Tata cara Pengaturan Susunan Caru
1. Pada arah timur
laut ditancapkan sanggah pasaksi, dimana hulunya menghadap timur laut. Hias
dengan tikar, candiga, gantung-gantungan
Letakkan didalam sanggah beberapa banten yaitu; Suci, pejati
Letakkan dibawah pada depan sanggah
berupa banten Gelar sanga
2 Di sebelah barat Sanggah Pasaksi ditancapkan
sanggah cucuk yang sudah dihias dan dilengkapi
dengan tikar kecil. Pada bawah
sanggah cucuk digantungkan sujang atau cambeng berisi tetabuhan seperti arak, berem,
tuak dan toya Letakkan banten didalam sanggah cucuk antaralain : tumpeng danan,
tadah sukla, canang lengawangi
3. Dibawah sanggah cucuk, pada natar/natah
dipasang sengkwi memakai anyaman 8 sebagai
jumlah urip tengah, diatasnya
berturut- turut disusuni karangan, kawisan, bayuhan, ketengan, segehan cacahan,
cau dandan, takep- takepan, tulung sangkur, kalakat sudamala dengan alas daun talujungan,
laying-layang ayam brumbun, sebuah kwangen berisi uang sesari 8 kepeng
dilengkapi nasi wong-wongan berwarna brumbun.
4 Disebelah-menyebelah diletakkan banten
tumpeng yaitu : Tumpeng putih 5 buah di timur
Tumpeng merah 9 buah diselatan Tumpeng
kuning 7 buah di barat Tumpeng hitam 4
buah di utara Dengan dilengkapi dengan rerasmen, raka- raka dan sampyan tumpeng
5. Pada bagian hulunya layang-layang diletakkan
banten suci, daksina, peras Sedangkan banten
caru lainnya yang menyertai
diletakkan pada sekelilingnya berupa : penyeneng, sorohan, sasayut pengambeyan,
pangulapan, ajuman, tipat kelanan, sanggahurip, segehan agung
6. Didepan pemimpin upacara diletakkan tebasan
durmenggala, pabersihan, tabuh-tabuh, dupa,
tirta caru, tirta pabyakalan. Byakala
dan prayascita diletakkan agak terpisah didepan pemimpin upacara
7. Tetimpug diletakkan ditempat yang agak aman
dekat tempat upacara diatas dapur darurat
II. CARU PANCA SATA
Kekuatan perlindungan dari caru
Panca Sata sesuai dengan penjelasan Kala Tattwa yaitu selama satu umpek (35 hari) Perlengkapannya sama dengan
caru eka sata namun dibuat 5 tanding dasar caru dimana warna dan jumlah segehan
dllnya sesuai dengan pengidernya Tata cara pengaturannya :
1. Pada arah
timur laut ditancapkan sanggah pasaksi, dimana hulunya menghadap timur laut.
Hias dengan tikar, candiga,
gantung-gantungan Letakkan didalam sanggah beberapa banten yaitu; Suci, pejati Letakkan
dibawah pada depan sanggah berupa banten Gelar sanga
2. Di sebelah barat Sanggah Pasaksi ditancapkan
5 bh sanggah cucuk yang sudah dihias dan
dilengkapi dengan tikar kecil.
Pada bawah sanggah cucuk digantungkan sujang atau cambeng berisi tetabuhan
seperti arak, berem, tuak dan toya anyar Letakkan banten didalam sanggah cucuk
antaralain : banten peras,tulung sayut, ajuman/soda
3 Dibawah
masing-masing sanggah cucuk, pada natar/natah dipasang sengkwi
memakai anyaman sebagai jumlah urip pengidernya, diatasnya
berturut-turut disusuni karangan, kawisan, bayuhan, ketengan,segehan cacahan,
cau dandan, takep-takepan, tulung sangkur, kalakat sudamala dengan alas daun
talujungan, laying-layang ayam (dg warna sesuai pengider-ider), sebuah kwangen
berisi uang sesari sejumlah kepengnya
sesuai urip pengider-ider
dilengkapibanten tumpeng dimana jumlah dan warna tumpeng sesuai dengan
pengider-ider.
4. Pada bagian hulunya layang-layang
diletakkan banten suci, daksina, peras Sedangkan banten
caru lainnya yang menyertai
diletakkan pada sekelilingnya berupa : penyeneng, sorohan, sasayut pengambeyan,
pangulapan, ajuman, tipat kelanan,
sanggahurip, segehan agung
5. Didepan
pemimpin upacara diletakkan tebasan durmenggala, pabersihan, tabuh-tabuh, dupa,
tirta caru, tirta pabyakalan.
Byakala dan prayascita diletakkan agak terpisah didepan pemimpin upacara
6. Tetimpug
diletakkan ditempat yang agak aman dekat tempat upacara diatas dapur darurat
III. CARU RSI GHANA
Terdiri atas :
1. Rsi Ghana
Alit dimana masa perlindungannya 6 bulan
2. Rsi Ghana Agung
dimana masa perlindungannya 6 tahun Digunakan bila didalam satu pekarangan mengalami:
a. Salah satu
keluarga mengalami salah pati atau ngulah pati
b. Salah satu
bangunan disambar petir
c. Kemasukan
orang gila
d. Bangunannya
kejatuhan pohon besar hingga cacat
e. Kebanjiran
atau dihanyutkan banjir besar
f. Menjadi
tempat orang mengamuk, perang, berkelahi
g. Kebakaran
h. Kemasukan
binatang besar
i. Kemasukan
bhuta kala
j. Suasana keluarga memanas dan keruh
A. Rsi Ghana Alit
Tata cara :
1. Nanceb sanggah tuttwan Upakaranya terdiri
dari : suci, rantasan, uang sesari 1700 Pada
depan natar atau halamannya merajah
Padma astadala sebagai tempat Caru Rsi Ghana Didahului dengan membuat lubang ditanah
lalu ditaburi tepung untuk membuat rerajahan Padma AstaDala
Pada arah timur aksara sucinya Sa
Pada arah selatan aksara sucinya Ba
Pada arah barat aksara sucinya Ta
Pada arah utara aksara sucinya A
Pada arah tenggara aksara sucinya
Na
Pada arah barat daya aksara
sucinya Ma
Pada arah barat laut aksara
sucinya Si
Pada arah timur laut aksara
sucinya Wa
Di madya atau tengah-tengah
aksara sucinya Ya
2. Tetandingan Rsi Ghana
a. Alasnya menggunakan tamas agak besar berisi
nasi pangkonan 9 bh dialasi plawa/daun
nagasari yang masing-masing
berisi rerajahan aksara suci, sebagai
berikut :
- Plawa di timur dirajah Ong
- Plawa di selatan dirajah Ang
- Plawa di barat dirajah Reng
- Plawa di utara dirajah Si
- Plawa di tenggara dirajah Ga
- Plawa di barat daya dirajah Na
- Plawa di barat laut dirajah Ba
- Plawa di timur laut dirajah Wa
- Plawa di tengah dirajah Ma
b. Lalu pada masing-masing nasi
pengkonan ditancapi setangkai bunga
teratai dan diberi ulam seekor itik/bebek putih yang diolah selengkapnya tanpa memakai sate/jajatah
c. Caru
pada halaman/natar memakai caru Panca Sata Malayang-layang dengan
masing-masing dialasi kelabang maikuh
sesuai dengan urip dan warna pengider-ider Kelengkapan caru lainnya yaitu :
sesayut pengambyan, pangulapan,
prayascita luwih, tumpeng agung maulam guling itik putih, daksina, dan kelimanya
memakai uang sasari 5555, sebuah pane anyar berisi nasi ketengan sesuai jumlah
urip pancawara Nasi pujungan masing-masing 1 bh.
d. Khusus untuk caru yang ditengah,
dilengkapi suci 1 soroh, sesayut durmenggala,
panca kelud, peminyak kala, pemangguh pamali
e. Di
sanggah Kemulan terdiri atas : suci 1 soroh selengkapnya
f. Untuk
pemimpin upacara : suci 1 sorog, penglukatan, peras lis, tatimpug yang
nantinya jika sudah selesai
upavcara harus ditananm di natar/halaman merajan
g. Kepada yang ngerajah natar, upakaranya berupa
daksina dengan sesari 125 Kepada
yang negrajah daun plawa/nagasari diberi daksina dengan
sesari 77
B. RSI GHANA MADYA
Kegunaannya untuk pamarisudhaning karang panas dan sanggar
atau tempat suci seperti Pura Kahyangan Tiga, Panggulan/empelan, tegalan serta sawah
Tata cara pengaturan :
a. Mendirikan
sanggar tutwan memakai penjor tiying gading berisi 2 kober rerajahan Ghana
membawa bajra dan satu lagi Ghana membawa Gada, dilengkapi dengan daun beringin
satu cabang ditempatkan diarah timur laut serta daunnya yang merajah Cakra
ditempatkan didepan sanggar tuttwan. Upakaranya : suci 2 soroh lengkap, tumpeng
adanan, peras, daksina berisi sesari 1700, canang lengawangi buratwangi.
b. Pada
natar atau halaman merajah padma asta dala
c. Selanjutnya diletakkan caru Rsi Ghana berupa
sega atau nasi pangkonan 9 buah dialasi tamas yang besar. Pada masing-masing nasi pangkonan dialasi
daun nagasari marajah aksara. Pada nasi masing-masing ditancapi bunga tunjung
dengan ulamnya memakai seekor itik diolah lengkap tanpa sate/jajatah.
d. Carunya
menggunakan Caru Panca Sata ayam melayang-layang winangun urip dialasi sengkwi.
(sama dengan susunan caru panca sata seperti diterangkan diatas) Upakaranya
terdiri dari : tumpeng adandanan ditengah daksina gede berisi sesari 500,
masing-masing dilengkapi dengan bayuhan, peras, penyeneng, sesayut pengambean. Untuk sanggah cucuk yang
ditengah disertai suci 1 soroh, gelar sanga, nasi segau, tepung tawar, lis
bebuu, tebasan prayascita luwih, durmenggala, prayascita, sebuah pane anyar,
kukusan, dangdang, sibuh pepek, tatimpug, sujang masing-masing 4 bh dan pada sanggah
cucuk berisi tuak, arak, berem, toya anyar.
e. Upakara pada
tempat pemujaan : 1 soroh suci lengkap, sarana penglukatan, daksina berisi
sesari 1100.
f. Daksina sang ngerajah natar, uang
sesarinya 125 Daksina sang ngerajah daun nagasari, uang
sesarinya
100
C. RSI GHANA AGENG
Tata cara pengaturannya :
a. Sama
dengan Rsi Ghana Madya, carunya menggunakan caru Panca Sata Ayam melayang-
layang ditambahkan
dengan Caru Asu Bang Bungkem yang diletakkan ditengah- tengah caru
Panca Sata. Khusus pada caru asu
bang bungkem melayang-layang harus dialasi dengan sengkwi maikuh. Olahan
dagingnya dibuatkan urab barak-urab putih, sate lembat, sate asem, sate calon
agung, dan ulam karangan.
Pengaturan tetandingannya : Sate lembat, sate asem masing-masing 33 biji dijadikan 33 bayuhan
lalu dijadikan 3 sengkwi, dilengkapi dengan ulam karangan 1, calon agung sesuai
dengan jumlah urip pengiderannya. Nasi/sega 33 dan takep-takepan, lis, sanggahurip
masing-masing Canang brakatmanca desa, rantasan 5 warna , sekar/ bunga 5 warna,
jun pere berisi toya anyar manca desa, alas-alasan, pasucian, isuh- isuh, nasi
segau, tepung tawar, benang tetetbus, rarakih masing-masing
b. Pada
tempat pemujaan untuk pemuput upacara : suci 1 soroh, penglukatan, samsam,
bija kuning, soda, peras, lis,
bebuu, nasi segau, tepung tawar, sesarik, alas-alasan, benang tetebus 5 warna
c. Upakara di sanggar tutwan : daksina berisi
uang sesari 5500, peras , sesayut,
pengambyan, prayascita luwih, nasi segau, tepung tawar, sebuah pane anyar,
kukusan, pangedangan, sebuah sibuh pepek.
IV. CARU PENOLAK MRANA ATAU GERING TEMPUR
Digunakan bila terjadi
:
a.
Tertimpa reruntuhan pohon yang besar
b.
Kemasukan orang mengamuk
c.
Kemasukan gelap
d.
Terjadi kebakaran
e.
Segala jenis kekotoran atau kadurmenggalaan
Tata cara pengaturan :
a. Mendirikan
sanggar tutwan Upakaranya :
- Suci 2 soroh lengkap
- Tumpeng adandanan, rantasan saperadeg
- Tubungan putih 7 buah, tubungan ijo 7
buah dialasi limas
- Bungkak nyuh gading makasturi
- Canang daksina berisi sesari 1700
b. Di sor sanggah
Surya Gelar sanga
c. Pada laapan
atau asagan , upakaranya babangkit asoroh maguling babi
d. Pada
natar/halaman :
-
Sebagai dasar menggunakan caru
panca sata ayam manca warna lengkap
- Tambahan untuk caru yang ditengah : suci
asoroh jangkep, prayascita luwih, tebasan
durmenggala, asayut pancaz kelud, paminyakkala, pamangguh
pamali, lis, sanggahurip, dilengkapi canang berkat masing-masing pada kelima
tempat itu, rantasan manca warna serta sega manca warna.
-
Pada caru asu bangbungkem
seganya 33 lengkap dengan takep-takep dan jun pere berisi
toya untuk kelima tempat, berisi
alas-alasan, pasucian, isuh-isuh, nasi segau, tepung tawar, tetebus dan rarakih
e. Pada tempat
pemujaan , upakaranya :
- Suci 1 soroh
- Soda, peras
- Penglukatan, samsam, wija kuning, lis bebuu,
segau, tepung tawar, sasarik, tetebus
panca warna
V. CARU PANCA SANAK MADURGHA/CARU PANCA SANAK TAWUR MADIA
Digunakan pada :
- Kahyangan
- Pengulun
setra
- Pura Dalem
Tata cara
pengaturannya :
a. Sebagai
dasarnya menggunakan caru Panca Sata selengkapnya
b. Untuk caru di
tengah / madya dilengkapi dengan Bawi butuhan/ kucit butuhan/babi jantan.
c. Caru ini
tidak menggunakan bebangkit walaupun akan ngusaba di sawah
d. Caru ini dapat
digunakan tetapi nasi caru pada amanca desa/lima
tempat memakai sega punjungan 33
sesuai dengan warna pengideran
kendatipun dipakai pada Padudusan
Alit
e. Bila caru ini
akan digunakan di desa-desa , harus memohon tirta pamuput caru di pura Dalem,
Kahyangan Pengulun setra dan bila
digunakan di sawah maka wajib memohon tirta pamuput caru di Pura Bedugul
Pangulun Sawah
VI. CARU BHUTA YADNYA MEDANA-DANA/GEMPONG ASU
Digunakan pada upacara Padudusan Alit Memakai bebangkit
asoroh Digunakan pada :
- Parahyangan
- Sanggar
Kabuyutan
- Ring
Tani-tani
-
Ngalinggihang Dewa ring Sanggar Parahyangan yang disebut upacara
Wrhaspatikalpa Alit
Tata cara pengaturannya:
a.
Sebagai dasarnya menggunakan caru panca sata selengkapnyapada caru yang
ditengah/madya dilengkapi dengan caru itik belangkalung melayang-layang dialasi
kelabang maikuh, dagingnya diolah menjadi urab barak-urab putih, jajatah
lembat, asem, dijadikan 88 bayuhan ditengah letaknya. Calon agung diatur sesuai
dengan jumlah urip pengideran pada kelima tempatnya.
b. Jenis
upakaranya Caru Panca Sanak Madurgha
c. Pada arah
barat daya ditambahkan caru asu bang bungkem melayang-layang bayuhan 33
VII. CARU PANCA SANAK AGUNG
Dapat digunakan pada :
- Desa-desa
- Parahyangan
Puseh, Desa,
Bale Agung dan parahyangan lainnya
Tata cara tetandingannya :
a. Sebagai
dasarnya menggunakan caru Pnaca Sata selengkapnya dan pada caru ditengah/
madya dilengkapi dengan banten
suci satu soroh lengkap
b. Runtutannya :
- Di timur angsa, kinelet ring urip,
dagingnya olah dadi 50 tanding
- Di selatan, banteng winangun urip,
dagingya olah dadi 90 tanding
- Di
barat, asu bang bungkem, dagingnya olah dadi 70 tanding
- Di utara, kambing winangun urip, dagingnya
olah dadi 4o tanding
- Di tengah, bebek belangkalung
winangun urip, dagingnya olah dadi 80 tanding Saha
lembat, asem, sami pada ngawa
karangan pada 1 sowang- sowang mwang calon agung. Segehannya nganut ke
bayuhannya nganut rupa manca desa, pada ngawa suci, sorohan, saupakaraning caru
genep kadi nguni
c. Apabila caru Panca sanak agung ini digunakan
pada upacara Padudusan Agung ataupun alit, dilengkapi dengan tepung putih seperti pada Yamaraja. Angsanya sebagai
tapakan ida Bhatara di sanggar tawang. Kebo atau kerbau sebagai tapakan Ida
Bhatara ring Paselang.
d. Pada
upacara Padudusan patut manutwarna . pada panggungan didepan Ida Sang Hyang
Widhi, patut memakai Bagia Pulakerti
VIII. CARU PANCA WALIKRAMA
1. CARU PANCA WALIKRAMA ALIT
Tata cara pengaturan tetandingannya :
a. Dasarnya
menggunakan caru Panca Sata selengkapnya
b. Runtutannya :
- Lawa ring urdha, purwa bebek putih
winangun urip, dagingnya olah dadi 55 bayuh,
karangan 1,
calon agung nganut uriping pangideran manca desa
- Daksina asu bang bungkem winangun
urip, dagingnya olah dadi 99 bayuh
- Uttara bawi butuhan winangun urip,
dagingnya olah dadi 44 bayuh
- Madia bebeek belangkalung, dagingnya
olah dadi 88 bayuh pada ngawa jejatah lembat,
asem,karangan mwang calon
- Bebangkitnya ring tengah 1 soroh dena
genap pada ngawa sorohannya kadi nguni
mwang sadulurannya kabeh
2. CARU PANCA WALIKRAMA MADYA
Pada dasarnya sama dengan Panca Wali Krama Alit, tambahannya
pada arah barat dengan banyak winangun
urip, dagingnya olah dadi 77 bayuhan Seluruh caru Panca Wali Krama baik itu
kecil hingga ageng harus dilengkapi dengan :
- Sesayut
durmenggala
- Prayascita
luwih
- Sesayut
panca kelud
- Sesayut
peminyak kala
- Pemangguh
pemali agung alit
3. CARU PANCA WALIKRAMA AGENG
Tata cara tetandingannya :
a. Sebagai
dasarnya caru Panca Sata selengkapnya
b. Runtutannya :
- timur – sapi
- Selatan – menjangan
- Barat – kidang
- Utara – kebo
- Madia – kambing belang
Dilengkapi rerajahan :
- Timur –
lembu
- Selatan –
nasaning naga
- Barat –
mong
- Utara –
garuda
Demikian rerajahan kendaraannya Untuk rerajahan penjor
berupa senjata :
- Timur –
bajra
- Tenggara –
dupa
- Selatan –
gada
- Barat daya
– moksala
- Barat –
nagapasa
- Barat laut
– angkus
- Utara –
cakra
- Timur laut
– trisula
- Tengah –
semua senjata
Pengiderannya
IX. CARU PANCA KELUD ATAU PANCA RUPA
Digunakan saat upacara
“Ngalinggihang Dewa ring Parhyangan, agung alit, upacara pamungkah, pakiyisan
agung/alit, mapadudusan agung/alit/madya Tata cara pengaturan :
a. Dasarnya
menggunakan caru panca sata selengkapnya
b. Runtutannya :
- Tenggara : bebek bulu sikep melayang-layang, dagingnya
olah ketengan menjadi
88 tanding karangan 1 sami pada ngawa suci dandanan
- Barat day : asu
bang bungkem melayang-layang, dagingnya olah ketengan dadi
33 tanding,
karangan 1
- Barat laut :
kambing melayang-layang, dagingnya olah ketengan dadi 11
tanding, karangan 1
- Timur laut :
angsa melayang-layang dagingnya olah dadi 66 tanding, karangan 1
- Tengah : itik
belang kalung melayang-layang, dagingnya olah dadi ketengan 88
tanding,
karangan 1
c. Banten ring
sanggar :
- catur rebah mapulogembal 1, genahang
ring tengah
d. tanahnya
merajah Yamaraja, diatas rerajahan letakkan kain kasa putih lalu isi tepung
putih
marajah yamaraja kemudian isi
banten seperti caru-caru lainnya
X. CARU WALIK SUMPAH
1. CARU WALIK SUMPAH
NISTA
Digunakan di Desa, Gaga dan sawah Tata cara tetandingannya :
a. Sebagai
dasarnya caru PancaSata selengkapnya
b. Runtutannya :
- Meghadap ke barat daya letaknya asu bang
bungkem olah gebnepwinangun urip dadi
33tanding mawadah sengkwi,
seganya mawadah daun Talujungan
- Menghadap ke timur letaknya angsa, olahannya
dadi 55 tanding
-
Ring sanggar tawang, caru
tulung dandanan, mwah ginawe dangsil, pisang Ghana adegakna
ro, misis sumbu 5, pada
masrembeng
-
Sane ring pucak :Banten penek
bang sanunggal, iwak sata wiring pinanggang, sampyan
andong bang, maduluran sarwa pala
bungkah pala gantung
- Ring
sakwehing sumbu ika pada maka lelima, kasoring pucak, caru tipat ketan pada
makelanan sowing-sowang, mwang
raka-raka, pucang sirih, maplawa andong, paku pipid, sakweha maplawa mangkana, mapenjor
madaging saolihe ring sawah, majontek kelapa kulitan pada maduang bungkul, genahakna
ring arepan sanggar tawang
Ring genahe mecaru, maduluran : Sasayut
agung,sasayut katututan, pengambyan, peras,
penyeneng, lis 2, salwiring sawah
pada ngusaba, wus kasiratin tirta mwah melis, wus punika tepung tawarin, wus
mangkana siratang tirta ring kumba, wus punika tatabang kang sawah, sasayut
pengambyan, peras, penyeneng.
- Mwang caru ring sanggar Karuhun tinrapana
mwang dangsil ika tirtakna. Ikang caru ring
sanggar tawang ring luhur, katur ring
Bhatara Sri, ikang caru ring sor, ring sarwa bragalaning sawah. Sasayut pengambyan
katur ring Bhatara Sri, peras , penyeneng, lis mwang jerimpen katur ring
iringan Bhatara Sri, mukyaning pari.
- Mwang ring Desa nira guling babangkit bawi
asoroh lan sadulurannya sawang gayah,
penek petang dasa bungkul, magenah
ring laapan
Ring angawe tirta, caru, suci adandanan,
peras sanunggal, lis 3, mangkana
kramanya
wang asasawahan pabresihan pari
- Nihan
kramaning amalik sumpah ring carik, ring desa, ring karang paumahan, genep
salanlaning banten, asagan, guling
babangkit, celeng gayah salampitan, gelar sanga, jangan sakawali
- Mwang ring sanggar ring arep Sang amuja :
banten suci dandanan, peras, lis
- Ring tanggun bale agungnge genah asagane,
ring caru takep- takepane anut watek
mawadah sengkwi 5, sajeng
sabrerong, peras, lis, byakaon. Mwang asu bang bungkem ebatannya genep. Daksinanya,
beras 3 catu gede sajangkepnya, lawe satukel arthanya 1700, peras gayah, jinah
500, guling 1 , ayam 6, bebek 3, tekaning cucukan, jun pere 1, kumbha carat
anut watek, klungah 5 amanca warna, isuh-isuh, genep, takep-takepan, anut
watek, celeng 9 ping 5, bebek 7 ping 5, siap 5 ping 5, sudang taluh 3 ping 5,
uyah areng 1 ping 5, tibakna ring sengkwi 5.
-
Soroh ring klungah : Nyuh
sudamala 9, nyuh mulung 11, nyuh gading 7, nyuh bejulit 5,
nyuh bulan 3, mwang jinahnya anut
caratnya, matali benang tridhatu, yeh anakan tibakna ring jun.
- Yan
amalik sumpah ring carik : Amujua rumuhun ring ulun carik, klungah ika paro, ka
ulun carik, ka Bale Agung 3, ring Tilem Amalik Sumpah. Yan ring Purnama, ring
Bale Agaung kramaning banten kadi nguni, mathani aluh ngaran, raris nglebarang.
Ika wenng magawe, swantahing nagara, apan nganut niti karma kadi nguni. Banten
ring pengulun carik asoroh, saha guling babangkit, mwang catur kumbha, pane, kren,
pangedangan, mwang takep-takepan, wawalungan, makadinya, kebo, purwa 50, gneyan
80, daksina 90, neriti 30, pascima 70, wayabya 10, uttara 40, ersanya 60, madya
80
2. CARU WALIK SUMPAH
MADYA
Tata cara pengaturannya :
a. Sebagai dasar
menggunakan caru Panca Sata selengkapnya
b. Runtutannya :
- Timur : angsa winangun urip dagingnya
olah dadi 55
- Selatan : sampi winangun urip. Dagingnya
olah dadi 99
- Barat daya : asu bang bungkem,
dagingnya olah dadi 33
- Barat : kambing winangun urip,
dagingnya olah dadi 77
- Utara : celeng plen winangun urip,
dagingnya olah dadi 44
- Madya : bebek belang kalung winangun
urip, dagingnya olah dadi 88
c. Pabangkitnya 1,
ketengannya nganut dik widik, pangkonannya nganut dik widik, sorohan,
kawisan, karangan, glar sanga,
cawu pangrekan
d. Banten ring
panggungan : babangkit agung asoroh
3. Tingkatan Upakara
Bhuta Yadnya yang paling besar ( uttama ) adalah tawur
Tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu
bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai
upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini
memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta) . Adapun tawur
ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra),
dan 1000 tahun untuk marebu bumi. Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan
utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah
ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali.
Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.
Rsi Gana
Dalam upacara agama Hindu memang
ada dikenal istilah Rsi Gana. Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu
bukanlah caru, melainkan suatu entuk
pemujaan kepada Gana Pati (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara
(raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia
terhindar dari berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana
memang tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi
Gana itu sama dengan caru ~ kebanyakan orang menyebut dengan istilah caru Rsi
Gana. Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana
ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan.Rsi Gana Alit diikuti dengan
caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan
bulu lima jenis warna). Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor
ayam dengan bulu berbeda). Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud
ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban
caru. Jadi, pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk memuja Dewa
Gana Pati atau Ganesa yang merupakan Dewa Penguasa para Gana atau para abdi
Dewi Durga, Dewa Siwa, dan Gana Pati sendiri.
SUMBER SASTRA DAN TEMPAT PELAKSANAAN TAWUR PANCA WALI KRAMA DI BESAKIH.
Sumber sastranya.
Cukup banyak lontar-lontar yang mengung kapkan Taur Panca
Wali Krama. Kebanyakan mengungkapkan periode pelaksanaan Taur Panca Wali Krama
yang dikaitkan dengan upacara Eka Dasa Rudra hingga Eka Bhuwana sebagai satu
siklus upacara seratus tahunan. Diantara sumber- sumber tersebut antara lain :.
Lontar Widhi Sastraning Taur Eka Dasa Rudra, dari Wanasari
Tabanan, menyebutkan :”Huwusning Eka Dasa Rudra patawurakena Bhuta Panca Wali
Krama, gaweya sanggar 5, tekaning panggungan
panca desa. Wusning mangkana patawurakena Tri Bhuwana, ngaran, patawurakena
Gurunya. Sanggar Tawang sanunggal panggungan sawiji. Mangkana yogyaniya
gelarakena de sang rumakseng praja mandala, lawan para wiku Aji, sang sampun
kreta yaseng yadnya sinanggah Weda Paraga. Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya
Taman Intaran Sanur, menyebutkan : Ngadasa tahun amanca wali Krama ring
Basukih; puput panca Wali Krama ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping
solasniya wawu ngeka dasa rudra rah
windu, tenggek windu. . Widhi Sastra
Niti Pedanda Sakti Wahu rawuh, antara lain menguraikan bahwa bilamana terjadi
“prawesaning jagat rusak” seperti bencana alam, banyak terjadi wabah penyakit
patut dilaksanakan upacara Taur Panca Wali Karma di Besakih, dan di batas-batas
desa dilaksanakan upacara yang lebih kecil. Lontar Eka Dasa Rudra, Geriya Lod
Rurung Riyang Gede, menyebutkan Wusni
Eka dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da,
pas, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggar tawang tiga
saha panggungan siji sowang, u, ma, da. Wus mangkana patawurakna Gurudya. Lontar
Bhama Kretih, menguraikan :
”Wusning Eka Dasa Rudra patawurakna bhuta Panca Wali Krama,
lwire amanca desa, marep pur, da, pas, u, ma,. I Tlas mangkana muwah
patawurakena Tri Bhuwana angadegaken sanggar tawang 3, saha panggungan siji
sowang, u, ma, da,. Wus mangkana malih patawurakena Guruniya sanggar tawang
1.Lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama, Geriya Telaga
Sanur: menyebutkan : Nihan tingkahing karya Panca Wali Krama keangge ring
Negara krama, ring pempatan agung, durung keangge ring parhyangan dewa pacang mahayu jagate ring Bali
nganut I sojar ira Sri Jaya Kasunu. Sumber ini menyebutkan Panca Wali Krama untuk tingkat
negara karma (desa-desa), tidak digunakan
di pura-pura besar seperti Besakih. Purana Pura Agung Besakih, tidak menyinggung
periode pelaksanaannya, hanya menguraikan tentang rincian upakaranya yang
sedikit berbeda dalam hal binatang korban yang dipergunakan bila dibandingkan
dengan sumber-sumber lainnya.
Tempat pelaksanaannya.
Tempat pelaksanaan upacara Taur Panca Wali Krama adalah di
Bencingah Pura Agung Besakih. Tempat ini diyakini merupakan sentral, oleh
karena sesuai dengan struktur pura Agung
Besakih, dari tempat ini ke arah bawah disebut soring ambal- ambal” yang
melambangkan alam bawah (adhah) yang terdiri atas sapta patala. Sedangkan
kearah atas dari bencingah agung disebut
luhuring ambal-ambal yang melambangkan alam atas (urdhah) yang terdiri atas
saptra loka Disamping Pura Agung Besakih secara umum diyakini sebagai central
(madyaning mandala) .
BEBERAPA JENIS TAUR PANCA WALI KRAMA
Jenis-jenis upacara
Taur Panca Wali Krama:
Upacara yang bersifat rutin yaitu ketika tahun saka bilangan
satuannya menemui angka nol ( Tenggek windu). Ngadasa tahun amanca wali Krama
ring Basukih; puput Panca Wali Krama ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring
kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra
rah windu, tenggek windu. (Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran
Sanur). Panca Wali Krama sebagai penutup Eka Dasa Rudra. (Wusni Eka Dasa Rudra,
patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da, pa, u, ma. Telasning
mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggartawang tiga saha panggungan siji sowing, u, ma, da. Wus mangkana
patawurakna Gurudya. (Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, Hal. 9b).
Sesuai dengan Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran,
Sanur, bahwa terkait dengan rangkaian Eka Dasa Rudra, ada Panca Wali Krama di
Danu Nyegjegang Bhatari Danu. Diuraikan sebagai berikut :
….. mwah Danu Panca Wali Krama nyegjegang Bhatari Danu nlasang kebo 4, tekaning
pangelem.
Panca Wali Krama ketika jagat rusak, wenang gelaran Tawur
Panca walikrama, sebagaimana disebut dalam lontar Widhi Sastra Niti Pedanda
Sakti Wahurawuh: Panca Wali Krama di Negara krama, sebagaimana diuraikan dalam
lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama, Geriya Telaga Sanur.
RANGKAIAN UPACARA PANCA WALI KRAMA
Sebagaimana biasa diawali dengan
ngatur piuning bahwa akan dilaksanakan
Taur Panca Wali Krama pada waktunya, dilanjutkan dengan Nuwasen Karya
yang disertai dengan nunas tirta pengandeg untuk disiratkan di setra. Dilanjutkan dengan rangkaian-rangkaian
persiapan lainnya seperti memineh empehan, membuat madu parka, nanding catur,
nanding bagia pulakerti, nyukat genah, nunas tirtha penyaksi karya, dll.
Rangkaian lainnya adalah melaksanakan
upacara melasti, yang perjalanannya
mengikuti rute tertentu sesuai dengan tradisi. Sehari sebelum puncak
upacara dilaksanakan upacara Mepepada, dan sore harinya upacara menben. Pada
puncak Taur Panca Wali Krama, juga disertai dengan Upacara Padanan, Upacara di
Ayun Widhi, pemujaannya dilaksanakan dari Bale
Gajah, dan Upacara Tedun ke
Paselang bertempat di Bale Paselang Penataran Agung. Tiga hari setelah puncak
Taur Panca Wali Krama ditutup dengan upacara Pangremekan. Setelah itu menyusul rangkaian
upacara Bhatara Turun Kabeh seperti biasa. Rangkaian terakhir adalah Upacara
Penyineban yang disertai dengan melaksanakan tirta panglebar dan
akhirnyaditutup dengan upacara Mejauman.
UPAKARA TAUR PANCA WALI KRAMA
Sesuai dengan lontar Ngeka Dasa
Rudra, Geriya Taman Sanur, bahwa Taur Panca Wali Krama di Besakih yang
dilaksanakan dalam siklus sepuluh tahunan sekali merupakan satu kesatuan dengan
Candi Narmada, Panca Wali Krama di Danu (Nyegjegang Bhatari Danu), Eka Dasa Rudra,
Tri Bhuwana dan Eka Bhuwana yang dilaksanakan
dalam siklus seratus tahunan sekali. Dalam satu paket upakara Eka Dasa Rudra
dengan rangkaiannya menghabiskan kerbau sebanyak 45 ekor yaitu: rangkaian
upacara yang pertama adalah Candi Narmada menghabiskan 5 ekor kerbau, diikuti dengan
Panca Wali Krama di Danu, menghabiskan 4 ekor kerbau, dilanjutkan dengan Eka
Dasa Rudra menghabiskan 26 ekor kerbau, diikuti lagi dengan Panca Wali Krama,
menghabiskan 4 ekor kerbau, setelah itu Tri Bhuwana menghabiskan 4 ekor kerbau
dan sebagai rangkaian terakhir Eka
Bhuwana menghabiskan 2 ekor kerbau. Tampaknya standar yang dipergunakan dalam
upakaranya ditentukan berdasarkan jumlah kerbau yang dipergunakan, tentunya yang lain akan menyesuaikan,
seperti banyaknya bebangkit, catur, suci, padudusan agung, dan sebagainya. Uraian tentang upakara Taur
Panca Wali Krama disini tidak dimaksudkan
secara teknis dan mendetail, melainkan akan dikemukakan beberapa kelompok
upakara yang dipandang menonjol untuk pengkajian lebih lanjut tentang makna filosofisnya. Beberapa kelompok upakara
tersebut adalah : Upakara di sanggar
Tawang, Akasa dan Pertiwi. Upakara di Sanggar Tawang : Banten yang utama adalah
catur, suci, dewa-dewi, dilengkapi pula dengan siwa bahu, pucuk bahu, gana
pikulan, panca saraswati, wedya, serta kelengkapan lainnya. Sanggar tawangnya
sendiri seperti biasa dihias dengan dahuduh dan peji. Upakara di Sanggar
Luhuring Akasa. Memakai Bebangkit putih dengan ulamnya itik putih. Upakara
untuk Ibu Pertiwi. Bebangkit ireng (merah ?),dengan ulam babi. Ketiga kelompok
upakara ini tampaknya juga memiliki makna untuk pelestarian ketiga alam
tersebut. Untuk mencapat kesejahtraan hidup di dunia ini patut di dukung dengan
kelestarian dan keharmonisan alam bawah dan alam atas, yang dikiaskan sebagai
bapa akasa dan ibu pertiwi . Upakara di panggungan, Upakara di panggungan yang terletak pada empat penjuru mata angin
(nyatur desa) berupa bebangkit agung
masing-masing 1 pasang yaitu memakai
ulam itik dan satu lagi memakai ulama bawi, dengan warna sesuai dengan
kiblatnya. Kelengkapan lainnya tentu saja tidak dapat dilepaskan adanya gayah
utuh, karena tingkat bebangkitnya yang diperguanakan adalah bebangkit agung. Sedangkan
panggungan yang di tengah memakai bebangkit agung 5 buah (manca warna). Pada
masing-masing panggungan juga dilengkapi dengan penjor, di dalam lontar disebutkan : penjorniya
petung kinerik denabersih plawaniya andong, paku saji, sinwi wangun pramangke, masurat sanjata paideran. Upakara tawur dengan kelengkapannya. Upakara
tawur Panca Wali Krama yang biasa diperguanakan di Bencingan Pura Agung Besakih
adalah dalam tingkatan yang utama yaitu dengan “lawa tiga”, (tiga lapisan),
bawah (adhah), tengah (madya) dan atas (urdhah). Ketiga lapisan taur tersebut
ditandai engan memakai masing- masing
tiga jenis binatang korban pada kelima
penjuru: mulai dari timur, selatan, barat, utara dan tengah masing sebagai berikut:
lawa paling bawah (adhah) memakai ayam
putih, merah, kuning (putih siyungan), hitam dan brumbun. Pada lawa yang ditengah
(madya) bertutur-turut menggunakan : angsa, asu bang bungkem, banyak, bawi
butuan serta itik belang kalung. Pada lawa yang paling atas (urdhah) terdiri
dari: sapi (lembu), kidang, menjangan, kebo serta kambing belang. Tiga lapisan upakara taur ini
mungkin juga ada kaitannya dengan pelestarian tiga lapisan alam semesta yaitu
alam bawah, tengah dan atas. Upakara Tri
Samaya di sanggar suku tiga Upakara yang dikenal dengan “tri semaya” ditempatkan
pada tempat khusus berupa sanggar suku
tiga mengingatkan kita padaceritra Dewa
Wisnu ketika mengalahkan raksasa Bali dengan melangkahkan kakinya (sukunya)
pada tiga dunia ini. Apakah ada korelasi
makna upakara ini dengan pelestarian tiga alam bhur, bhwah dan swah menarik
untuk kita kaji bersama. Inti upakaranya adalah bebangkit. Upakara Panunggun
awur,Diantaranya memakai daksina sarwa 7, beras 7 catu, bebangkit, serta
kelengkapan upakara lainnya Upakara lantaran bhatara Upakara ini diletakkan di
sor sanggar tawang yang ada di tengah,
yang utama memakai kebo yosbrana dengan kelengkapan upakaranya, seperti
cau-cau, kekuduk, pering, bebangkit, dan
lain-lain, disertai pula dengan upakara Yama Raja, yang memakai sarana tepung
sebagai alas untuk menuliskan
aksara-aksara suci simbul Yama Raja. Alat penulisnya menggunakan duri pohon
bila. Upakara di tempat pemujaan. Upakara yang utama disini adalah upakara- upakara
yang bersifat menyucikan yang utama
adalah padyus-dyusan (padudusan agung) dengan tirtha nawa ratna, dan berbagai
jenis tirtha penyucian lainnya .
Upakara Padanan.
Khusus untuk padanan merupakan
satu kesatuan tersendiri karena lengkap dengan Sangar Tawangnya, disertai
dengan upakara di Bale Padanan, serta upakara caru dalam tingkat “wrhaspati kalpa”
(Memakai sarana ayam lima warna dan asu bangbungkem, diletakkan di arah barat
daya (Kelod kauh). Upakara Ayun Widhi, Upacara
di Ayun Widhi juga meliputi tiga unsur, yaitu upakara di luhur yang ditempatkan di Sanggar Tawang lengkap dengan
Sanggar Akasa dan Pertiwinya. Upakara di madia, yaitu upakara-upakara di bale
panggungan, yang terdiri dari bebangkit agung beserta gayah utuhnya. Dan
upakara di sor adalah caru di sor sanggar tawang yang merupakan dasar dari lantaran
Ida Bhatara.
Upacara tedun ke Paselang.
Paselang juga merupakan satu
kesatuan upakara yang terdiri dari upakara di Sanggar Tutuwan, upakara lantaran
di sor dan upakara di Bale Paselang.
Upakara di Bale paselang yang menonjol adalah pemujaan kehadapan Sanghyang
Semara Ratih, yang disertai pula dengan upacara “Majijiwan” Makna upakara
secara umum diuraikan dalam lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama Geriya
Telaga Sanur sebagai berikut Apan pabanten pinaka sarira bhatara, Ikang Sanggar
Tawang pinaka Siwalingga Bhatara, bantene ring panggungan agung pinaka
Bahuangga Bhatara, Ikang paselang pinaka Jagana bhaga-purus Bhatara Ikang caru
sor pinaka Suku delamakan Bhatara,. Semua binatang korban yang dipergunakan
Dalam kelompok-kelompok upakara tersebut
ditekankan yang masih muda, tidak cacat, dan khusus untuk binatang yang berkaki
empat agar belum “metelusuk” dan umurnya
telah lewat 6 bulan Dalam rangkaian taur Panca Wali Krama dan Bhatara Turun Kabeh tahun ini semua pura
Pedharman iharapkan agar ikut ngiringang Ida Bhatara melasti ke segara Klotok,
dan nyejer sebisanya, sebagai wujud ikut “ngertiyang karya agung ini”.Selanjutnya
untuk upakara dalam hubungan dengan Bhatara Turun Kabeh,
pada dasarnya berlaku seperti biasa karena telah rutin
dilaksanakan setiap tahun sekali. Tidak ada kekhusan walaupun diawali dengan
taur Panca Wali Krama.
Banten
Beberapa Jenis Persembahan:
Canang Genten
Sebagai alas dapat digunakan
taledan, ceper ataupun daun pisang yang berbentuk segi empat. iatasnya berturut-turut disusun perlengkapan
yang lain seperti: bunga dan daun-daunan, porosan yang terdiri dari satu/dua potong
sirih diisi sedikit kapur dan pinang,
lalu dijepit dengan sepotong janur, sedangkan bunganya dialasi dengan janur
yang berbentuk tangkih atau kojong. Kojong dengan bentuk bundar disebut
"uras-sari". Bila keadaan memungkinkan dapat pula ditambahkan dengan
pandan-arum, wangi- wangian dan sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten ini
sangat sederhana, tetapi hampir semuanya mempunyai arti simbolis antara lain: jejaitan/tetuwasan
reringgitan, melambangkan kesungguhan
hati, daun-daunan melambangkan ketenangan hati. Sirih, melambangkan dewa wisnu,
kapur melambangkan dewa siva, pinang melambangkan dewa brahma, suci bersih, dan
wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah kesegaran dan
kesucian. Canang ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu digunakan untuk
melengkapi sesajen- sesajen yang lain, hanya saja bentuk alat serta porosannya
berbeda-beda.
Canang Buratwangi
Bentuk banten ini seperti canang
genten dengan ditambahkan "burat wangi" dan dua jenis "lenga
wangi". Ketiga perlengkapan tersebut masing-masing dialasi kojong atau tangkih.
Burat wangi dibuat dari beras dan kunir yang dihaluskan dicampur dengan air cendana
atau mejegau. Ada kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lenga
Wangi ( minyak wangi) yang berwarna putih dibuat dari menyan, 'malem" (
sejenis lemak pada sarang lebah), dicampur dengan minyak kelapa. Lenga wangi
(minyak wangi) yang berwarna kehitam-hitaman dibuat dari minyak kelapa dicampur
dengan kacang putih, komang yang digoreng sampai gosong lalu dihaluskan. Ada
kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas), yang juga digoreng
sampai gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran yang baik, terlebih dahulu
minyak kelapa dipanaskan, kemudian barulah icampur dengan perlengkapan lainnya. Secara
keseluruhan "l enga-wangi" dan "burat-wangi" melambangkan
Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang Siva, Majegau melambangkan Hyang Sadasiva
sedang cendana melambangkan Hyang Paramasiva Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu
seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya Saraswati dan melengkapi sesajen-sesajen
yang lebih besar.
Canang Sari
Bentuk banten ini agak berbeda
dengan banten/canang genten sebelumnya, yaitu dibagi menjadi dua bagian. Bagian
bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun segiempat seperti ceper atau taledan. Sering
pula diberi hiasan "Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini
terdapat pelawa, porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras),
pisang emas atau yang sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih.
Dapat pula ditambah dengan burat wangi dan lengawangi seperti pada canang buratwangi. Di atasnya barulah
diisi bermacam-macam bunga diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah
"uras ari/sampian uras". Canang
sari dilengkapi dengan sesari berupa uang kertas, uang logam maupun uang
kepeng. Perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut
"raka- raka". Raka-raka melambangkan Hyang Widyadhara- Widyadhari. Pisang emas melambangkan Mahadewa, secara
umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara, sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma.
Canang sari dipergunakan untuk
melengkapi persembahan lainnya atau dipergunakan pada hari-hari tertentu
seperti: Kliwon, Purnama, Tilem atau persembahyangan di tempat suci.
Canang Pesucian
Canang ini disebut juga canang
pengeraos yang terdiri atas dua buah aled atau ceper. Pada bagian bawah berisi
kapur, pinang, gambir, tembakau yang dialasi dengan kojong. disusuni beberapa
lembar daun sirih, sedangkan aled atau ceper yang lain berisi bija serta minyak
wangi yang dialasi celemik atau kapu-kapu kemudian dilengkapi bunga yang harum.
Tadah Pawitrah / Tadah
Sukla
Bentuknya seperti canang genten ditambahkan dengan pisang kayu yang mentah,
kacang komak, kacang putih, ubi dan keladi. Semua perlengkapan digoreng dan
masing-masing dialasi tangkih dan kojong. Banten ini dipergunakan untuk melengkapi
beberapa jenis sesajen seperti: daksina Pelinggih dan lain-lainnya.
Cane
Dipakai sebuah dulang kecil
dihiasi dengan sesertiyokan dari janur. Ditengah- tengahnya ditancapkan batang
pisang. Disekitarnya diisi perlengkapan lain
eperti: Bija, Air cendana dan burat wangi, masing-masing dialasi dengan
empat buah tangkir atau mangkuk kecil. Dilengkapi pula dengan kojong empat buah
yang berisi tembakau, pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang dilengkapi
dengan gambir dan kapur dan diikat dengan benang. Dapat pula ditambah dengan
rokok dan korek api sebanyak empat batang. Bunganya ditancapkan menlingkar pada
batang pisang dan paling diatas diisi cili atau hiasan-hiasan lainnya. Cane dipergunakan
terutama pada waktu upacara melasti dijunjung mendahului pratima atau dasksina
pelinggih. Cane juga digunakan pada rapat-rapat desa adat untuk memohon agar
pertemuan berjalan lancar. Setelah pertemuan selesai, cane akan dilebar yaitu
dengan jalan membagi- bagikan air cendana, Bidja, Bunga serta perlengkapan
lainnya.
Canang Meraka
sebagai alas dari canang ini
digunakan ceper atau tamas, diatasnya diisi tebu, pisang, buah-buahan, beberapa
jenis jajan dan sebuah "sampian" disebut "Srikakili" dibuat
dari janur berbentuk kojong diisi plawa, porosan serta bunga. Sesungguhnya masih
banyak jenis-jenis canang tubungan, Canang Gantal, Canang Yasa. Canang pengraos
dan lain-lain. Pada umumnya bahan yang diperlukan hampir sama, hanya bentuk
porosan dan cara pengaturannya yang berbeda. Rupanya pemakaian sirih, kapur dan
pinang mempunyai dua fungsi sebagai simbul atau lambang yaitu:
1.
Sirih melambangkan Dewa Wisnu
2.
Pinang melambangkan Dewa Brahma
3.
Kapur melambangkan Dewa Siwa
Untuk persembahan biasa berfungsi sebagai makanan, dalam hal
ini penggunaannya dilengkapi dengan tembakau dan gambir.
Daksina
Alas Daksina disebut wakul
Daksina atau bebedogan. Kedalamnya berturut-turut dimasukan tampak (sejenis
jejahitan berbentuk silang atau tampak dara) beras, sebutir kelapa yang sudah
dikupas sampai bersih (mekelas), serta beberapa perlengkapan yang dialasi
dengan kojong seperti telur itik yang entah,
bija ratus (campuran berbagai biji-bijian), gantusan (campuran berbagai jenis
bumbu), Kelawa peselan (Daun salak, ceruring, Manggis,durian, dll),
base-tampel, kemiri(tingkih), tangi, Pisang kayui yang entah, uang, canang payasan, yaitu sejenis
canang genten tetapi alasnya berbentuk segitiga ditempelin dengan reringgitan
yang khusus. Dapat pula dilengkapi dengan canang buratwangi atau canang sari
atau yang lain. Perlengkapan seperti telur itik uang, ataupun gantusan kiranya
dapat digolongkan buah sebab pengertian buah mempunyai arti yang agak luas. Persembahan
yang berupa daksina dianggap sudah lengkap sebagai mana disut dalam Bagawadgitha. Disamping itu penggunaan telir
itik dan uang rupanya mempunyai fungsi tersendiri secara umum kelapa dapat
digolongkan sebagai buah, tatapi yang lebih diutamakan airnya Diusahakan
mempergunakan telur itik bukan telur ayam sebab itik lebih banyak menunjukan
sifat-sifat satwam sedangkan ayam lebih banyak menunjukan sifat rajas dan tamas
oleh karena itu pula beberapa daksina terutama yang melambangkan bhutkala
dipergunakan telur ayam, tetapi bila
ditujukan kepada Hyang Widhi para Dewat dan Leluhur sedapat mungkin dipergunakan
telur itik. Penggunaan uang yang disebut pula sesari atau akah kiranya untuk menyempurnakan isi daksina sehingga
persembahan yang dilengkapi dilengkapi dengan daksina benar-benar diharapkan memberikan kesukseskan atau hasil
yang sebagai mana diharapkan. Daksina disebut Juga "YadnyaPatni" yang
artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana
persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar
dan sebagainya perwujudan atau pertapakan.
Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/
Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
Ajuman
Bahan perlengkapan yang
diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi yang disebut "penek"
atau "telompokan", beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk
berupa serondeng atau sesaur, kacang- acangan, ikan teri, telor, terung, timun,
taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal. Sebagai alasnya
dapat digunakan "taledan" atau yang lainnya. Di atasnya diisi dua
buah penek, lauk auk
yang dialasi dengan tangkih berbentuk segitiga, jajan buah-buahan dan sampaian soda
(sampian ajuman) berbentuk tangkih. Kadang
bagian atasnya dibuat agak indah seperti kipas disebut "sampian kepet- kepetan".
Dapat pula dilengkapi dengan canang genten/ canang sari/ canang burat wangi. Ajuman
disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina uci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para
leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning,
disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di
alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper
/ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi
sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
Peras
Perlengkapan serta cara
penyusunannya hampir sama dengan ajuman, tetapi nasinya berbentuk tumpeng (dua
buah), alasnya ditempeli "Kulit-peras" yaitu sejenis jejahitan yang
khusus, sedangkan sampaiannya disebut Sampian Tupeng (Sampian Peras). Banten
ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten
yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa
hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk
menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara)
akan menarik lekukan pada "kulit- peras",
dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut
bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti. Kiranya kata "Peras"
dapat diartikan "sah" atau resmi, seperti kata: "meras
anak" mengesahkan anak, "Banten pemerasan", yang dimaksud adalah
sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak
dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya "tan
perasida", yang dapatdiartikan "tidak sah", oleh karena itu banten
peras selalu menyertai sesajen- sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan
tertentu.
Banten Jotan
Banten jotan (saiban) disebut
pula "Yajnasesa", merupakan yadnya setiap hari bagi umat Hindu di
Bali khususnya. Di India juga dapat ditemukan hal yang sama. Bahan perlengkapannya
adalah: sedikit nasi, garam, serta lauk pauk lainnya yang baru dimasak. sebagai
alas dapat dipakai daun atau piring kecil-kecil.
Banten Suci
Alas dari banten suci ini adalah
beberapa buah tamas. Warna jajan yang dipergunakan adalah putih dan kuning, jajan yang berwarna putih ditempatkan disebelah
kanan dan yang kuning ditempatkan isebelah
kiri. Di antara jajan tersebut ada yang dinamakan "sasamuhan" terbuat
dari tepung beras yang dicampur sedikit
tepung ketan, parutan kelapa serta air. Campuran tersebut lalu dibentuk kemudian
digoreng. Jajan-jajan tersebut ada yang diberi nama: Kekeber, Kuluban, Puspa,
Karna, Katibuan-udang, Panji, Ratu- magelung, Bungantemu dan lain sebagainya. Yang perlu diperhatikan di sini adalah perbandingan
antara jajan yang berwarna putih hendaknya lebih banyak dari pada jajan yang
berwarna kuning, isalnya 12:6, 9:5, 7:5,
5:4, dst. Pada banten suci tiap tempat /tamas diisi perlengkapan yang jumlahnya
telah ditentukan, seperti: tamas yang paling bawah berisi pisang, tape,
buah-buahan, masing-masing 5 biji/iris, jajan sesamuhannya 1 biji tiap jenis:
tamas yang kedua berisi 2 biji/iris, dst. Secara sederhana 1 soroh suci terdiri
dari: Suci, daksina, peras, ajuman, tipat kelan, duma (sejenis banten)
pembersihan, canag lengawangi/ buratwangi, canang sari dan buah pisang. Pada upacara
yang agak besar dilengkapi dengan perayunan.
Banten Gebogan /
Pajegan
`Gebogan atau pajegan adalah
suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian makanan termasuk juga buah- buahan dan bunga-bungaan. Umumnya dibawa dan
ditempatkan dipura dalam rangkaian upacara Panca Yadnya. Ini arena keindahan bentuknya, hanya digunakan
hanya sebagai dekorasi.
Penjor
Pejor adalah sarana keagamaan
sebagai persembahan dan juga perlambangan Gunung Agung, Naga Basuki dan Naga Ananta Boga.Penjor dipasang pada hari penampahan
Galungan di depan pintu masuk sebagai pertanda kemenangan dharma. Penjor dengan
segala perlengkapannya, yang menggunakan hiasan seperti daun daunan, ibi ubian,
buah buahan, jenis jajan, kain uang kepeng sebagai simbul dari Naga Anantha Bhoga dan Naga basuki. Kedua Naga ini
perlambang anugrah dari Hyang Widhi. Naga Anantha Boga simbul tanah yang dapat membrikan kesejahteraan dan
kemak muran bagi kehidupan manusia. Sedangkan Naga Basuki lambang keselamatan,
yaitu selamat dari penyakit, penderitaan. tulah sebabnya, penjor menyerupai bentuk Naga,
dengan kepalanya di bawah penjor dilukiskan mulut dari naga. Pada hari Umanis galungan penjor tersebut digoyang
goyangkan sedikit agar dahan perlengkapan ang tergantung jatuh dengan maksud mohon anugrah
dari Hyang Widhi. Setelah budha keliwon Pegatwakan, 35 hari setelah Galungan
penjor dicabut dan sampahnya dibakar habis abunya dimasukan ke dalam kelapa
gading ditanam di depan rumah dengan
harapan agar memberi sesuatu kekuatan untuk
memperkokoh jiwa agar penghuni menjadi selamat.
Lamak
Lamak adalah suatu ukiran dari
janur, daun enau baik yang warna hijau maupun yang warna krem sebagai alas yang
ditempatkan dalam suatu bangunan pelinggih. Dalam lamak terdapat berbagai
ukiran simbol- simbol keagamaan yaitu: Simbul Gunungan atau kekayonan,
Cili-cilian, Bulan, Bintang,Matahari dan sebagainya. Penggunaannya dilengkapi
denga Plawa, Canang dan Dupa. ASRAMA Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan
yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu :
1.
1.Brahmacari,
2.
Grhastha,
3.
Vanaprastha, dan
4.
Bhiksuka.
Karena menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang
tidak melaksanakan catur ashrama dengan
baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.
Brahmacari
Brahmacari adalah masa belajar,
masa menuntut ilmu/pendidikan. Brahmacari dalam arti sempit adalah masa belajar
secara formal misalnya belajar sejak TK sampai perguruan tinggi. Brahmacari
dalam arti yang lebih luas, adalah upaya meningkatkan pengetahuan dengan berbagai
cara (formal dan informal) yang berlangsung
sepanjang masa kehidupan karena sebenarnya proses belajar- mengajar berlangsung
tiada henti. Brahmacari dalam arti
khusus ada dua yaitu :
1. Brahmacari dalam kaitan masa aguron- guron (belajar agama/ spiritual) seorang sisya (siswa) kepada Nabe
(guruspiritual) dimana Nabe
tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik dan melatih, dan
2. Brahmacari dalam arti menjauhkan diri dari keinginan sex atau tidak
kawin/nikah
selama hidup. Yang terakhir ini
disebut sebagai sukhla brahmacari. Pentingnya Brahmacari Ashrama, disebutkan dalam Atharvaveda sebagai berikut : Brahmacaryena
tapasa, raja rastram vi raksati, acaryo brahmacaryena, brahmacarinam icchate (XI.5.17). Sa dadhara
prthivim divam ca (XI.5.1). Tasmin devah sammanaso bha vanti (XI.5.1) Artinya :
Seorang pemimpin dengan mengutamakan brahmacari dapat melindungi rakyatnya, dan
seorang guru yang melaksanakan brahmacari menjadikan siswanya orang yang sempurna; Seseorang yang melaksanka
brahmacari akan menjadi penopang kekuatan dunia; Tuhan (Hyang Widhi) bersemayam
pada diri seorang brahmacari. Dari kutipan Veda itu jelaslah kiranya bahwa
kewajiban manusia yang utama dan yang pertama dilakukan adalah menuntut ilmu
atau belajar dan berpendidikan, karena dari pendidikan / pengajaranlah pikiran
dikembang kan untuk menuju kepada Catur purushaarta seperti yang telah
dikemukakan dalam uraian tentang catur purushaarta terdahulu. Pelajaran dan pendidikan
juga akan membangun kemampuan berpikir untuk memilah antara dharma (perbuatan
baik) dan adharma (perbuatan tidak baik) sehingga manusia dapat mencapai kesempurnaan hidup. Kitab suci
Sarasamusccaya 2 : Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu
samavistam subhesvevavakarayet. Artinya : Diantara semua mahluk hidup, anya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah
yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam
perbuatan baik segala yang buruk itu; demikianlah pahalanya menjadi manusia. Dalam
Upanisad disebutkan pula bahwa arti kata Manusah adalah : Manu = kebijaksanaan,
sah = mempunyai. Jadi manusia adalah
mahluk yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga kemampuan
kodrati manusia yaitu:
1. Sabda (kemampuan berbicara),
2. Bayu (kemampuan bergerak) dan
3. Idep (kemampuan berpikir).
"Idep" yang dituntun oleh ajaran agama dan ilmu
pengetahuan akan menjadikan manusia itu lebih bijaksana sehingga disebut
sebagai manusia yang sempurna. Mahluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua
kemampuan saja yaitu kemampuan bergerak (bayu) dan kemampuan bersuara (sabda).
Binatang tidak mempunyai kemampuan berpikir (idep) oleh karena itu binatang beraktivitas
berdasarkan naluri, tidak berdasar kan pikiran. Tumbuh-tumbuhan hanya mempunyai
kemampuan tumbuh (bayu) saja, tidak mempunyai sabda dan idep.Selanjutnya
Sarasamusccaya menyatakan bahwa kita wajib bersyukur karena atman telah
menjelma menjadi manusia, mahluk yang utama, karena itu gunakanlah kesempatan
hidup yang sempit ini dengan sebaik-baiknya, kesempatan mana sungguh sangat
sulit diperoleh; lakukanlah segala
sesuatu yang baik (melalui brahmacari) yang mencegah kejatuhan harkat
kemanusiaan, gunakanlah kesempatan ini untuk mencapai moksa/ sorga.
"Paramarthanya, pengpengen ta pwa katemwaniking si dadi wwang, durlabha wi
ya ta, saksat handaning mara ring swarga
ika, sanimittaning tan tiba muwah ta pwa damelakena"
Dana Punia
Apakah Pengertian dari Dana Punia
itu ? Dana Punia terdiri dari dua kata yaitu Dana = Pemberian, sedangkan Punia
artinya selamat, baik, bahagia, indah, dan suci. Jadi Dana Punia artinya
pemberian yang baik dan suci. Apakah yang menjadi landasan Dana Punia ? Sedikitnya
ada dua landasan dari Dan Punia itu
antara lain :
1.
Landasan Filosofis : Tat Twam Asi
2.
Landasan Sastra :
a.
Weda Smerti
b.
Manawadharmasastra Bab IV, sloka 33,226
3.
Sarasamuscaya sloka no. 175, 176, 192, 198,
217,178,207, 211, 182, 183, 184, 222, 181, 202,
205,206,216,187, 188, 191, 193, 194, 212,
213, 223, 261, 262,263.
4.
Sanghyang Kamahayanika, sloka 56,57,58. 5.
Slokantara, Sloka nomor 2,4,5.
5.
Ramayana, sargah I, bait 5, sargahII bait 53,
54.
6.
Nitisastra, sargah III bait 8, sargah XIII bait
11.
7.
Lontar Yadnya Praketi.
8.
Berapa jeniskah kita mengenal Dana Punia ?
Perincian dana punia yang dapat mendatangkan pahala yang besar adalah :
1.
Desa :
harta benda
2.
Agama :
ajaran sastra, agama, dan ilmu pengetahuan
3.
Drewya :
benda benda duniawi/material. Dalam Sanghyang Kamahayanika dijelaskan
bentuk dana punia yaitu:
1.
Dana :
harta benda
2.
Atidana :
anak gadis yang cantik
3.
Mahatidana :
jiwa raga
Siapakah yang berkewajiban melaksanakan dana punia ?
Ø
Para pengusaha negara / pemerintah
Ø
Para pemuka agama
Ø
Penyelenggara yadnya
Ø
Saudagar, usahawan
Ø
Orang orang yang mampu
Ø
Sewaktu waktu diwajibkan bagisemua umat
Ø
Bagi umat yang berpenghasilan tetap
Ø
Bagi umat yang berpenghasilan tinggi.
Siapakah yang berhak
menerima Dana Punia ?
Ø
Para Guru Rohani / Nabe
Ø
Dangacarya /Sulinggih
Ø
Orang miskin yang terlantar
Ø
Orang cacat
Ø
Orang yang terkena musibah
Ø
Tempat suci / Parahyangan
Ø
Lembaga lembaga sosial
Ø
Rumah sakit
Ø
Pasraman / Pendidikan
Bagaimana Pelaksanaan
Dana Punia ?
Saat yang baik melaksanakan dana punia adalah :
Ø
Uttarayana (purnama kedasa ) Umat Hindu diwajibkan melaksanakan dana punia
secara serentak
Ø
Sewaktu
waktu tepatnya pada purnama dan tilem baik Uttarayana, swakala, daksinayana
(matahari menuju utara, di
katulistiwa, dan menuju selatan).
·
Saat gerhana matahari dan bulan
·
Dalam keadaan pancabaya.
Ø
Apakah dasarnya dana Punia ?
Ø
Dalam Sarasamuscaya sloka 261, 262, 263 dan
Ramayana sarga II bait 53, 34 disebutkan bahwa harta yang didapat (hasil guna
kaya) hendaknya dibagi tiga yaitu untuk kepentingan:
·
Dharma 30%
·
Kama 30%
·
Dana harta ( Modal Usaha 40% )
Ø
Sampai kapankah Dana Punia itu dilaksanakan ?
Ø
Selama dalam status grehaste untuk setiap umat wajib melakukan dana punia.
·
Dalam rangka pembinaan untuk menumbuhkan
kesadaran berdana puniadi kalangan anak anak maka perlu kegiatan dana punia
MOKSA
Menurut kitab-kitab Upanisad,
moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala bentuk ikatan dan bebas dari samsara.
Yang dimaksud dengan atma adalah roh, jiwa. Sedangkan hal-hal yang termasuk
ikatan adalah :
1.
pengaruh panca indria,
2.
pikiran yang sempit,
3.
ke-akuan,
4.
ketidak sadaran pada hakekat Brahman-Atman,
5.
cinta kasih selain kepada Hyang Widhi,
6.
rasa benci,
7.
keinginan,
8.
kegembiraan,
9.
kesedihan,
10. kekhawatiran/ketakutan,
dan
11. khayalan.
Moksa dapat dicapai oleh
seseorang baik selama ia masih hidup (disebut : Jivam Mukta), maupun setelah
meninggal dunia (disebut : Videha Mukta). Jika selama masih hidup seseorang itu
mencapai moksa maka ia telah mencapai tingkat moral yang tertinggi,
kehidupannya sempurna (krtakrtya), penuh dengan kesenangan (atmarati) karena
terbebas dari 11 jenis ikatan yang disebutkan diatas, memandang dirinya ada
pada semua mahluk (eka-atma- darsana), memandang dirinya ada pada alam semesta
(sarva-atma-bhava-darsana). Kesenangan juga tercapai karena pengetahuan dan
kesadaran bahwa brahman-lah atman yang ada didirinya (brahmanbhavana). Jika
moksa dicapa setelah meninggal dunia
maka terjadilah proses menyatunya atman
dengan brahman sehingga atman tidak lahir kembali sebagai mahluk apapun atau
bebas dari samsara, disebut juga sebagai kedamaian abadi (sasvatisanti).
Moksa adalah tujuan hidup manusia yang tertinggi yang dapat
dicapai oleh setiap manusia bila ia :
a.
Mampu membebaskan atman dari ikatan.
b.
Mempunyai pengetahuan utama (paravidya) tentang
brahman
c.
Melaksanakan disiplin kehidupan yang suci. Oleh karena itu moksa juga
dikatakan sebagai pahala yang tertinggi dari Hyang Widhi atas karma manusia
utama, suatu anugerah yang maha mulia. Ada kutipan Svetasvatara Upanisad I.6 yang
sangat indah :
Sarvajive sarvasamsthe brhante asmis,
hamso bhramyate brahmacakre, prthag
atmanam pretitaram ca justas, tatas
tenamrtatwam eti.
Artinya :
Dalam roda Brahman yang maha besar dan maha luas, didalamnya segala sesuatu hidup
dan beristirahat, sang Angsa mengepak- epakkan sayapnya dalam melakukan perjalanan
sucinya. Sejauh dia berpikir bahwa dirinya berbeda dengan Sang Maha Penggerak
maka ia dalam keadaan tidak abadi. Apabila dia diberkahi oleh Hyang Widhi maka ia mencapai kebahagiaan sejati dan
abadi. Makna dari sloka upanisad di atas adalah : Sekalipun anda telah
melaksanakan disiplin kehidupan suci dan membebaskan atman dari ikatan-ikatan,
namun bila anda tidak menyadarkan atman bahwa Brahmanlah atman, maka anda belum
mencapai moksa KESIMPULAN : Moksa adalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati
adalah sorga yang sebenarnya. Moksa dapat dicapai dengan upaya yang tekun melaksanakan
2.4 MAKNA DARI
SEGEHAN, CARU, TAWUR
Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan
bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada
dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari
perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan
Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau
Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara,
atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika
lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili
Panca Maha Butha ini adalah banten yang suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya.
Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam
berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira
seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya.
Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti
Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman.
Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk
pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat
Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu
sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami.Oleh karenanya untuk
memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud
Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun
Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah
banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti:
Daksina Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng,
Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda Bhuvana
dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan
agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa
Tuhan ini tidak hanya berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada
bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten
itu ipergunakanlah seluruh isi alam
sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang alam semesta
ini adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan
sebagainya.** Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya
(mungkin dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu bentuk
usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta ) Panca Maha huta. Mecaru, dilihat dari tingkat
kebutuhannya terbagi dalam: Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup
keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga,
melanggar adat dll) Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan
kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur
kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus,
pembangunan merajan juga memerlukan caru jenis madya Utama ~ dilakukan secara
menyeluruh oleh segenap umat Hindu Bangsa)Indonesia Biasanya ayam berumbun (tri
warna?) digunakan sebagai pelengkap panca sata, urutan penempatan caru (madya)
panca sata adalah sebagai berikut: ayam putih timur ayam erah/biing selatan ayam putih siungan barat ayam
hitam/selem utara ayam brumbun tengah Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi)
artinya : korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit artinya
‘keseimbangan/keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan : Caru
adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.
‘Keseimbangan/keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Trihita Karana’
yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan
(parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu
terganggu, misalnya : pelanggaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan
(gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian, huru-hara yang
merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak palemahan,
patut diadakan pecaruan.Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ? Binatang
terutama adalah binatang peliharaan/ kesayangan manusia, karena pada mulanya,
justru manusia yang dikorbankan.
Jadi kemudian berkembang bahwa manusia
digantikan binatang peliharaan. Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan
batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan
Segehan ini adalah persembahan
sehari- hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya
tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan
/ Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Bahan utamanya adalah nasi berwarna beberapa kepal. Yang umum segehan: putih dan
kuning. Dalam Lontar Carcaning Caru, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor
ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada
unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai
dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu
berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya,
sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan
**khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehinggamemiliki fungsi sebagai
runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan
sampai datang piodalan berikutnya.
Caru
Sedangkan pancasanak sampai
dengan pancakelud dalam lontar Carcaning Caru tersebut mulai digolongkan
sebagai caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung
(alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan
engan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan
menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat
dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses
pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Adapun yang digolongkan tawur
dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan
yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar
(utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi
sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta). Adapun tawur ini memiliki
kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun
untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi. Adapun tawur
dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun
upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh turan sastra atau rontal pada berbagai pura
besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada
tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah menyimak makalah ini tentang BHUTA YADNYA maka dapat
disimpulkan bahwa bhuta yadnya merupakan sebuah upacara korban suci yang
dilaksanakan dengan ketulusan hati, sebagai ungkapan terima kasih kepada Ida
Sang Hyang Whidi Wasa serta memohon agar senantiasa melimpahkan dan memberikan
keharmonisan di dunia antara manusia engan alam semesta.
3.2 Saran
Manusia yang beragama Hindu diwajibkan melaksanakan bhuta
yadnya agar tercipta hubungan yang harmonis dengan mahluk lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suarjaya, Dr. I Wayan, dkk. 2008. Panca Yadnya. Widya
Dharma ; Denpasar
2. Suparta, I Nyoman Suda, dkk. 2002. Agama Hindu. Ganeca
Exact : Jakarta
3. Pujda, I Gede. 1999. Manava Dharmasastra. Paramita :
Surabaya
4. http/www.wikipedia.co.id.Panca yadnya.